Itang Yunasz merupakan ‘trendsetter’ busana muslim modern di Indonesia…
Itang Yunasz adalah tokoh atau icon perancang mode busana muslim bergaya modern di republik tercinta ini. Pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1958 ini adalah putra dari pasangan almarhum Yunas Sutan Pangeran dan Yuliana, yang kini tinggal serumah bersama Itang. Sejak kecil, Itang sudah bercita-cita menjadi perancang mode di kemudian hari. Ia memimpikan bisa pergi ke Paris. Iapun mulai suka menggambar sketsa desain saat berusia 10 tahun.
Itang terinspirasi dari ibundanya yang suka menjahit pakaian, sedangkan almarhum ayahandanya pernah berkarir di militer. Meskipun seorang militer, Itang menegaskan, “Ayah adalah seniman tulen karena memang dia bisa membuat patung, melukis, dan bahkan menggunakan kain perca dari jahitan ibu untuk dijadikan lukisan.” Itang merasa kagum karena ibundanya bisa membuat baju hanya dengan lembaran-lembaran kain. Memang baju-baju itu tak dijual oleh sang ibunda, tapi hanya dibuat untuk anak-anaknya sendiri saja.
Saat berada di bangku SMP, Itang sering membaca majalah dan tiap kali melihat gambar atau foto Menara Eiffel di Paris, ia dalam hati berkata, “Kapan aku bisa ke sana?” Saat itu perancang mode yang terkenal di Indonesia hanya ada Non Kawilarang, Iwan Tirta dan Peter Sie.
Tahun 1979, Itang memberanikan diri mengikuti Lomba Perancang Mode yang diselenggarakan oleh majalah Femina, sayang sekali ia tidak menang, karena yang keluar sebagai juaranya adalah Samuel Wattimena. Bahkan Itang tidak masuk 10 besar sekalipun.
Pada satu waktu, Itang diberitahu oleh temannya yang berdomisili di Singapura bahwa perancang mode Renato Balestra dari Italia akan mengadakan show di sana. Itangpun kemudian terbang ke Singapura dan bersama temannya menyaksikan show tersebut. Ia sangat antusias melihat dengan mata kepalanya sendiri peragaan busana karya Balestra dan iapun berkesempatan menemui Balestra usai peragaan busana sambil berujar, “Saya ingin seperti kamu!” Dari situlah, ia lalu menerima tawaran dari sang desainer Italia tersebut untuk studi sambil magang ke rumah modenya di Roma dan terwujud pada tahun 1980 selama setahun.
Awalnya kedua orangtuanya mempertanyakan hasrat Itang untuk studi mode di Roma. Seperti kebanyakan orang tua pada masa itu, ia dipertanyakan apa jadinya di masa depan dengan menjalani profesi sebagai perancang mode, manakala saat itu masih sangat sedikit kaum pria yang menekuni bidang yang satu ini. Sebenarnya orang tua Itang tidak melarang cita-citanya, tapi hanya menasihati bahwa selama ia yakin bahwa ini memang masa depannya, mereka pasti mendukung sepenuhnya. Itangpun berhasil meyakinkan orang tuanya, penghasilan pertamanya langsung ia berikan kepada mereka.
Tahun 1980 Itang absen dari ajang Lomba Perancang Mode karena dia berguru pada Balestra. Selama studi di Roma, Itang banyak berpikir dan berusaha memahami selera orang-orang Indonesia soal busana. Karena Italia itu terkenal sebagai tempat baju siap pakai, sehingga Itang terpengaruh dengan hal-hal yang dipelajari dan dilihatnya, untuk kemudian ia memilih fokus membuat baju-baju ready to wear yang diproduksi dalam jumlah banyak. Sebagai perbandingan di Paris, mereka fokus untuk couture, hanya satu desain saja dan pasti beda.
Usai menimba ilmu di rumah mode Balestra, Itang kembali ke tanah air dan membuahkan hasil ketika ia menjadirunner-up pada Lomba Perancang Mode pada tahun 1981. Pada ajang bergengsi ini, Itang memilih tema ‘Angin Timur Angin Barat’ dengan memberikan sentuhan-sentuhan dari Srilanka, Thailand, Jepang dan Sumatra yang dikemas dengan gaya internasional. Itulah awal karir Itang Yunasz dalam berkiprah secara total sebagai perancang mode.
“Hadiah sebesar Rp 2 juta saya jadikan modal pembukaan usaha, ditambah dengan baju rancangan saya yang laku Rp 4 juta karena dibeli oleh istri dari dokter ahli jantung Michael Elias DeBakey dari Houston, Texas,” kenang Itang. Pada awal bisnisnya itu, Itang tidak mempunyai tukang jahit, sehingga, misalnya saja ia harus pergi sendiri ke daerah Mayestik, Kebayoran Baru. Namun, kini ia memiliki 50 orang penjahit, 5 diantaranya merupakan penjahit sejak awal ia menekuni bisnisnya.
Orang mengenal Itang Yunasz tak saja sebagai perancang mode, tapi juga sebagai penyanyi, bintang iklan dan pemain film. Menyanyi memang hobi masa kecilnya, ibaratnya ia tak bisa melihat ada microphone nganggur.
Selama menggeluti profesi sebagai penyanyi sambil tetap menjalani profesi sebagai perancang mode, Itang pernah berada di persimpangan jalan. Ia mempertanyakan dirinya sendiri, karena merasa profesi sebagai penyanyi bukanlah profesi sesuai dengan panggilan hatinya. Itang merasa perancang modelah profesi yang cocok bagi dirinya.
Suatu ketika, seorang pengamat mode Cynthia Sujanto (almarhumah) mengatakan padanya bahwa Itang harus membuat pilihan dari berbagai profesi yang digelutinya secara simultan. Dalam kesibukannya menjalani multi profesi, Itang selama empat kali berturut-turut pernah masuk nominasi sebagai perancang mode terbaik di Indonesia tapi tidak pernah sekalipun menjadi pemenangnya. Ia menyadari bahwa saat itu ia tidak fokus dengan keberadaannya sebagai perancang mode sehingga ia mengalami pasang surut.
Atas dasar teguran atau wake-up call dari Cynthia itulah, Itang kemudian membuat keputusan dan akhirnya hanya fokus sebagai perancang mode. Itang yang sedang meraih popularitas sebagai penyanyi saat itu bahkan sempat dikontrak oleh Pangeran Brunei selama beberapa tahun dan tentu saja menerima honor yang sangat besar. Berkat penghasilan yang besar dari Pangeran Brunei, Itang menjelma menjadi globetrotter; ia sering berlibur ke Asia, Eropa dan Amerika Serikat. Tapi ia tetap senantiasa ingat kepada orang tuanya dengan cara memberikan penghasilannya untuk dipakai membeli rumah. Dalam keadaan tidak fokuspun, Itang sudah punya gerai di Pasaraya Blok M dan merupakan perancang mode pertama yang masuk ke pusat perbelanjaan modern itu. Itang mengutarakan bahwa ia memang punya hubungan yang baik dengan pengusaha A. Latief saat itu. Sebenarnya pada masa itu ia pernah mempunyai butik di daerah Kebayoran Baru, tapi kemudian ia tutup karena kondisi dirinya yang tidak seratus persen di bidang mode. Disamping menyanyi, adakalanya iapun diminta Pangeran Brunei untuk membuatkan pakaian dengan hasil rancangannya.
Setelah itu Itang benar-benar shifting dan sangat fokus akan profesinya sebagai perancang mode. Selama 4 tahun berturut-turut sejak 1991, Itang selalu menjadi pemenang perancang mode terbaik Indonesia. Inilah turning point Itang guna makin memantapkan posisinya sebagai perancang mode papan atas di Indonesia. Iapun merasa berterima kasih atas ‘sentilan’ sang pengamat mode Cynthia Sujanto.
Menikah dengan Yeni Mulyani, mereka dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan. Selepas melahirkan anak kedua, Yeni memutuskan untuk berhijab dan sejak itu pula Itang mendedikasikan dirinya merancang busana muslim.
Menurut pendapat Itang, para pendahulunya dalam busana muslim seperti Ida Royani dan Ida Leman menghadirkan gaya busana yang berlapis-lapis atau bertumpuk-tumpuk dan terkesan gedombrongan. Itang sempat ragu dan khawatir untuk mulai fokus ke rancangan busana muslim, tapi berkat Allah SWT semata, ia diberikan banyak kemudahan dalam menjalankannya. Itang menegaskan bahwa ide merancang busana muslim ia dapatkan dari ketekunannya mengikuti tren mode dunia.
‘Tatum’ adalah label pertama yang ia rilis, di mana fokusnya busana muslim untuk para profesional yang bekerja di lingkungan perkantoran. Ia melahirkan ‘Tatum’ setelah melihat perkembangan Bank Syariah di Indonesia. Ia melihat ada banyak wanita berhijab, tapi mereka tak tahu blazer macam apa yang pantas dikenakan, misalnya.
Soal membuat baju koko yang kemudian diberi label ‘Preview’, ia melihat ada peluang bisnis karena pada saat itu Ustad Jeffry Al Bukhori atau lebih beken dipanggil Uje, sedang naik daun. Setelah itu semua orang minta dibuatkan baju koko. Dinamai ‘Preview’ karena memang rancangan baju koko yang paling awal. Ia bermitra dengan Rizal, yang masih ada hubungan keluarga dengannya guna mengelola bisnis ‘Preview’ secara total. Itang hanya fokus pada rancangannya. Tapi semua keputusan pantas atau tidaknya untuk dijual ada pada Rizal, walaupun menurut Itang rancangannya pantas dipasarkan.
‘Marrakech’ sebenarnya adalah bisnis keluarga bersama saudara-saudara kandungnya dalam bentuk busana muslim berbahan kaos dengan gaya rancang muda. Dengan usaha-usaha yang dijalankannya ini, sesungguhnya Itang ingin merangkul semua kalangan. Nama ‘Marrakech’ sendiri ia ambil dari nama kota di Maroko yang pernah dikunjunginya. Itang sangat mengagumi keindahan kota itu dan memberikan kesan yang mendalam baginya. Karena mustahil baginya mempunyai rumah di Marrakech sana, sehingga Itang mengabadikan kenangan indah itu sebagai label rancangannya.
Bagi Itang Yunasz, ilham untuk rancangannya bisa datang disembarang tempat dan setiap waktu. Juga, bisa muncul di kamar mandi. Tapi apa saja yang dilakukannya di sana, sehingga ia bisa berlama-lama? Ternyata bukan sekadar mandi atau buang air. “Selepas bepergian, semua hal terekam dalam pikiran,” paparnya. “Bila sedang duduk di kloset atau berendam, saya memejamkan mata. Biasanya, ide-ide akan timbul. Lalu saya tumpahkan lewat gambar pada secarik kertas,” imbuh Itang lagi. Karena itu kamar mandinya berukuran hampir sebesar kamar tidurnya. Di kamar mandi kadang ia menyalakan lilin, sambil berendam di bath tub atau sambil mendengarkan lagu.
Dari kedua orang tuanya, Itang diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu dan satu lagi yang dipentingkan adalah agama. Kedua orang tuanya senantiasa menanamkan pentingnya melaksanakan sholat dan selalu berbuat baik kepada orang lain, misalnya saja berzakat.
Umroh pertama kali dialaminya saat Itang sedang menerima undangan peragaan karya busananya di Jeddah, Saudi Arabia. Pada saat pelaksanaan peragaan sebagai pria, Itang dilarang berada di belakang panggung karena itu blessing in disguise bahwa ia bisa menunaikan ibadah umroh untuk pertama kali.
Saat melihat Ka’bah, Itang merasa takjub karena sebelumnya hanya bisa dilihat dari gambar saja. Ia tak kuasa menahan tetesan air matanya karena merasa tergetar hatinya menatap langsung Ka’bah. Saat menginjak usia 30 tahun, ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan niatnya itu sempat ditentang oleh sahabat-sahabat dekatnya mengingat ia masih muda usianya.
Nawaitu-nya begitu kuat, Itangpun pergi menunaikan Rukun Islam yang kelima tersebut. Ia mengakui bahwa sebenarnya ia takut terbang dengan pesawat udara, karena itu ia merasa khawatir akan adanya guncangan selama penerbangan. Boarding pass yang diterimanya ternyata mencantumkan nomor 52 dan ia berasumsi akan dapat tempat duduk di bagian belakang pesawat. Semua ketakutannya sirna seketika, karena tempat duduknya ada di lantai 2 pesawat berbadan lebar Boeing 747 dengan kursi yang nyaman. Yang menarik lagi ia duduk bersebelahan dengan almarhum Bapak Munawir Sjadzali, Menteri Agama saat itu. Itang merasa bersyukur atas nikmat Allah, karena sejak di Jakarta saja ia sudah mendapatkan kemudahan. Nikmat Allah yang berkelanjutan ia terus dapatkan selama menunaikan ibadah haji perdananya ini. Dan hingga saat ini ia sudah 3 kali berhaji dan yang terakhir menjalankannya bersama istri tercintanya, Yeni di musim haji yang lalu.
Itulah sosok Itang Yunasz yang senantiasa ingin berbagi dengan orang lain melalui bakat besarnya pemberian Allah SWT di bidang perancangan busana. Itang adalah pribadi yang cerdas, hangat dan terbuka dalam berkomunikasi. Iapun kentara sekali sebagai pribadi yang tanggap dan kreatif dalam menekuni segmen busana muslim sebagai bentukgiving-nya kepada banyak orang untuk tampil Islami sekaligus modern, meskipun di sisi lain ia tetap merasa prihatin atas carut marut kondisi negaranya yang semakin kusut di berbagai lini kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar